Sekolah boarding dipandang sangat ideal dalam kerangka pemanfaatan waktu anak-anak secara optimal dengan kegiatan positif. Namun perbedaan pendapat juga muncul, terutama terkait dengan waktu dan perhatian orang tua terhadap anaknya sendiri.
Terdapat dua belas SMA
Negeri dengan sistem berasrama (boarding
school) di Sumatera Barat, yang berada di bawah pembinaan Dinas Pendidikan
provinsi, dan ada puluhan sekolah boarding lainnya di bawah naungan yayasan. Mengingat
jejak panjang sejarah pendidikan keagamaan Islam di negeri kita, khususnya di
Sumatera Barat, maka inspirasi sekolah boarding
dimaksud
tidak dapat dilepaskan dari pendidikan madrasah dengan sistem surau, thawalib, perguruan Islam, maupun pesantren.
Ciri utama sistem pendidikannya ialah peserta didik tinggal dan beraktivitas 24
jam sehari semalam di lingkungan pendidikan sekolah.
Di Sumatera Barat
maupun daerah lainnya, sekolah boarding
tergolong baru (mulai tumbuh sejak awal 1990). Sedangkan sistem surau (dan
belakangan lebih populer dengan sebutan pesantren) telah mengalami pasang naik
dan surut sejak awal abad ke-19 silam. Adapun sistem “sekolah/madrasah dalam
pesantren” sejak hampir setengah abad terakhir telah memberikan kontribusi
besar dalam pendidikan di negeri ini. Sekolah boarding menerapkan sekolah reguler dan sekaligus mengambil keunggulan
yang ada pada sistem pesantren. Kegiatan pembelajaran di sekolah boarding diselenggarakan sebagaimana sekolah
reguler, kemudian jam-jam yang tersedia di sore dan malam serta subuh digunakan
untuk pemantapan materi pelajaran, program-program keasramaan dalam upaya
mengoptimalkan pengembangan potensi siswa, pembentukan karakter, beradat serta
pembiasaan kehidupan efektif sehari-hari. Sebagian besar SMA boarding di Sumatera Barat pada tiga
tahun terakhir menempatkan program tahfiz (hafalan Al-Quran) sebagai core boarding.
Core ini mengisyaratkan bahwa sekolah
boarding di daerah kita tidak lain
daripada penjelmaan sistem pendidikan surau ataupun pesantren berbentuk
pendidikan sekolah umum.
Salah satu tujuan
pendidikan SMA adalah agar lulusannya mampu melanjutkan pendidikan ke perguruan
tinggi (PT). Di antara indikator keberhasilan SMA, oleh karena itu, adalah passing grade dan banyaknya lulusan
berhasil masuk PT. Peringkat PT yang berhasil dimasuki lulusan juga menjadi
pertanda penting keberhasilan SMA. Kemampuan lulusan SMA menembus PT favorit
sendirinya meningkatkan rating sekolah. SMA
boarding, diharapkan menjadi jenjang
memudahkan anak-anak kita mencapai PT yang mereka impikan, sekaligus
mengembangkan sejumlah kemampuan lainnya dalam bidang keagamaan dan karakter.
Pertanyaannya adalah: apakah
sekolah boarding bisa diandalkan
untuk mendapatkan capaian-capaian pendidikan, yaitu menghasilkan anak-anak
pintar sekaligus berkarakter atau berakhlak mulia?
Mengambil
Alih Tanggung jawab Orangtua
Sekolah boarding dipandang sangat ideal dalam kerangka
pemanfaatan waktu anak-anak secara optimal dengan kegiatan positif. Namun perbedaan
pendapat juga muncul, terutama terkait dengan waktu dan perhatian orang tua
terhadap anaknya sendiri. Dalam pandangan sebagian anggota masyarakat,
pemberian waktu dan perhatian terhadap kehidupan sehari-hari anak sebagian
besarnya merupakan tanggung jawab orangtua. Pandangan yang mendukung pendidikan
pesantren maupun sekolah boarding
menganggap selepas sekolah dasar dan memasuki balig sebagian besar anak-anak
sudah bisa dilepas dari rumah, --dan karena itu sekolah boarding jenjang SMP/MTs juga banyak diminati. Lagi pula, pasangan
orang tua yang keduanya bekerja di luar
rumah menganggap waktu kebersamaan dengan anak-anak mereka di rumah dalam
kenyataannya sangat sempit.
Terlepas dari perbedaan
pendapat yang ada, sesungguhnya selalu ada sisi negatif seperti halnya sisi
positif sekolah boarding. Bahwa ada dan sangat banyak lulusan sekolah jenis ini yang
mampu memenuhi harapan yang diletakkan orang tua dan masyarakat, sebagaimana
juga ada sebagiannya mengecewakan. Dari sisi penyelenggara sekolah, sederhananya,
sekolah boarding menyediakan sistem
untuk mengambil alih tanggung jawab [dipisah] mendidik ana-anak di sekolah, di
rumah dan masyarakat secara sekaligus. Karenanya pendidikan sekolah boarding merupakan proses yang penuh
dinamika, tantangan dan masalah. Keberhasilan pengambilalihan tanggung jawab
orang tua oleh sekolah tersebut, pertama sekali, hendaknya dimulai dengan
kesediaan dan keikhlasan orang tua dan anggota keluarga lainnya. Sedia dan
ikhlas melepas putra-putri memasuki dunia yang berbeda.
Trilogi
S-M-A
Sekolah boarding, seperti disebutkan di atas,
mengambil beban secara simultan upaya mendidik anak-anak di sekolah, rumah dan
masyarakat. Tanggung jawab tersebut tentunya sangat berat. Bahwa tugas-tugas
tersebut sebagiannya hanya bersifat simbolik, sebab sejatinya tidak ada yang
bisa menggantikan peran ayah dan ibu dalam makna yang sesungguhnya. Karenanya,
upaya mengembangkan model peran-peran tersebut perlu terus menerus dilakukan
sekolah boarding.
Dalam sistem surau atau
pesantren, figur buya, syekh, inyiak atau kiyai adalah penentu arah dan
kebijakan pesantren, bahkan menjadi simbol keberadaan institusi pesantren itu
sendiri. Tanpa kehadiran dan “angguak-geleng” sang mahaguru maka segala
kebijakan dan aktivitas belum sah atau belum bisa dijalankan. Dewasa ini pada
pendidikan pesantren di daerah kita sistem yang berpusat pada orang seorang,
yang merupakan pendiri ataupun pelanjut dari mahaguru sebelumnya sebagiannya
masih bertahan. Sistem yang terpusat karena kharisma figuritas tersebut dapat menguntungkan
dalam pengambilan kebijakan dan keputusan secara cepat, dan kepatuhan para
guru, staf serta peserta didik.
Dalam sistem sekolah boarding, terutama SMA negeri, tidak ada figur mahaguru, melainkan
dikendalikan oleh kepala sekolah beserta wakil-wakil kepala. Komitmen dan
kepatuhan di sekolah boarding
berpusat pada sistem yang dibangun dan dikembangkan. Sistem dibangun sedemikian
rupa dengan merujuk pada tujuan-tujuan yang hendak dicapai. Tujuan SMA boarding
seperti disebutkan di atas mencakup tujuan sekolah menengah umum serta sebagian tujuan pendidikan pesantren.
Sesuai dengan tujuan
yang hendak dicapai itu, maka aktivitas dan aktualisasi diri peserta didik
sekolah boarding dikondisikan dalam lingkungan pendidikan sekolah, yang secara
fisik berupa lingkungan sekolah, masjid, dan asrama. Karenanya ketiga
lingkungan tersebut merupakan sebuah bangunan sistem sekolah. Peserta didik
melakukan aktivitas pada tiga lingkungan dimaksud dengan jenis-jenis kegiatan
yang berbeda, namun terkait dan terhubung satu dengan lainnya.
Bangunan sistem sekolah
boarding merupakan “tiga sentra aktivitas”.
Ketiga sentra aktivitas itu sesungguhnya merupakan sebuah trilogi.
Artinya, ketiganya berhubungan secara logis. Bahwa masing-masingnya harus ada,
dan ketiadaan salah satunya dapat meniadakan arti keseluruhannya dalam
penyelenggaraan pendidikan dimaksud dalam mencapai tujuan-tujuan sekolah boarding. Secara teoritik dan kategorik,
ketiganya melambangkan pengembangan tiga kecerdasan manusia, yaitu inteligensi
(IQ) dalam belajar di sekolah, emosional (EQ) dalam aktivitas di asrama, dan
spiritual (SQ) dalam aktivitas di masjid.
Lebih rinci, aktivitas pada
tiga sentra di lingkungan boarding mencakup: (1) aktivitas pembelajaran
intra/ko/ekstra kurikuler yang dilaksanakan di kelas-kelas sekolah (sentra S), dalam
memenuhi tuntutan kurikulum sekolah yang ditentukan secara nasional, (2) aktivitas di masjid (sentra M), berupa
kegiatan keagamaan yang mencakup shalat berjamaah lima waktu, shalat-shalat
sunat, Tahfiz Quran, serta keterampilan keagamaan lainnya dalam rangka
membentuk akhlak mulia, dan (3) aktivitas di asrama (sentra A), yang merupakan
kegiatan sehari-hari untuk membentuk cara dan gaya hidup efektif; pembentukan pembiasaan dan perilaku
positif termasuk pemahaman dan
pengamalan adat istiadat Minangkabau, yang semuanya mendukung aktivitas di
sekolah dan masjid.
Aktivitas peserta didik
terorientasi secara seimbang pada ketiga
sentra tersebut, sesuai fungsi, arah dan isi kegiatan pada masing-masingnya.
Pada dasarnya tidak ada suatu jenis kegiatan pada suatu sentra aktivitas
sekolah boarding yang dianggap lebih penting daripada lainnya. Ketiganya sama
pentingnya, dan harus diisi dan berfungsi secara simultan. Pengurangan fungsi
pada salah satu sentra aktivitas akan mengubah seluruh sistem. Misalnya,
berkurangnya fungsi asrama sebagai wadah pembinaan kebiasaan dan karakter, maka
boarding bisa jadi berubah menjadi rumah
kost.
Pengaturan
Waktu
Regulasi penjadwalan
waktu kegiatan perlu direncanakan secara matang, dan kemudian
disosialisasikan kepada segenap warga
sekolah. Efektivitas pengunaan waktu merupakan hal sangat mendasar di sekolah
boarding. Secara umum, sepanjang 24 jam yang tersedia sehari semalam akan
terasa singkat dan padat dipenuhi berbagai kegiatan siswa pada ketiga sudut
aktivitas sekolah boarding. Sepertiganya atau sekitar delapan jam disediakan
untuk tidur, istirahat, waktu luang dan bersenang-senang. Delapan jam lainnya
untuk kegiatan pembelajaran di sekolah, dan delapan jam tersisa untuk aktivitas
di masjid dan asrama.
Pengaturan kalender
pendidikan dalam satu tahun pembelajaran juga perlu direncanakan secara cermat
agar tidak ada masa yang terbuang sia-sia, bahkan hari libur (tidak ada
kegiatan belajar di sekolah) sekalipun perlu diisi konten kegiatan. Kealfaan
mengisi satu hari kegiatan saja dapat menimbulkan dampak buruk dan “guncangan”
di sekolah boarding.
Dukungan
Tenaga Guru dan Pembina Asrama
Dalam tiga sentra
kegiatan sekolah boarding sebagaimana disebut di atas, tenaga guru dan pembina
asrama menjadi sangat krusial. Bahwa keberhasilan sekolah boarding terutama
terletak pada kompetensi, kesungguhan dan keteladanan para guru dan pembina
asrama. Sejauh ini Lembaga Pendidikan Guru dan Tenaga Kependidikan (LPTK) belum
memberikan bekal secara khusus guru-guru untuk ditempatkan di sekolah boarding. Guru yang mampu menerapkan
kompetensi pendidik di lingkungan boarding
merupakan salah satu masalah pokok sekolah boarding.
Guru lulusan LPTK,
seperti diketahui, dibekali dengan kompetensi pedagogik, profesional,
kepribadian, dan sosial. Empat kompetensi tersebut sesungguhnya dapat digunakan
dalam aktivitas mendidik pada berbagai lapangan kehidupan guru; di sekolah,
masyarakat, di rumah maupun lingkungan tertentu yang lebih khusus, seperti lingkungan asrama. Tantangan guru di
sekolah boarding, karena itu, adalah
menerapkan kompetensi yang ada ke dalam kehidupan sekolah boarding.
