Kerangka berpikir dalam menjalankan metode ilmiah ialah dengan memahami secara menyeluruh bangunan ilmu pengetahuan yang terbentuk melalui metode ilmiah itu.
Saat kita di dalam
kereta api yang melaju kencang, tampak pohon-pohon di luar berlarian. Tentu
kita tidak akan berpikir bahwa pohon-pohon itu benar-benar berkejaran seperti yang ditangkap mata kita.
Kita tahu bahwa sebenarnya yang berlari kencang adalah kereta api. Atau begini.
Sebatang tongkat terendam di air kolam, terlihat bengkok-bengkok. Apakah
tongkat itu sebenarnya bengkok? Setelah diangkat, ternyata lurus.
Contoh sederhana di atas menunjukkan bahwa keadaan yang sebenarnya dari
segala sesuatu di alam ini hendaknya terlebih dahulu dipikirkan secara seksama
dan didukung dengan bukti yang meyakinkan. Dahulu orang percaya matahari
mengelilingi bumi. Setelah dipikirkan dan dikemukakannya bukti-bukti baru,
pertama kali oleh Copernicus, maka
kita mengetahui bahwa planet-planet beredar mengelilingi matahari.
Contoh lainnya, sepintas kita melihat jatuhnya sebuah benda karena benda itu
berat. Tapi jika kita mengetahui hukum gravitasi Isaac Newton, kita akan
menyadari bahwa jatuhnya benda disebabkan
adanya gaya berat yaitu gaya (kekuatan) tarik Bumi terhadap benda
tersebut; bila diukur, kelajuan jatuhnya benda mengalami percepatan ketika makin dekat ke bumi.
Kita sepatutnya meragukan pendapat tentang kebenaran segala sesuatu gejala
jika belum terdapat alasan dan bukti yang masuk akal untuk mendukungnya.
Keraguan itu perlu untuk mendorong kita mengembangkan kemampuan berpikir
ilmiah; bepikir secara keilmuan!
Membangun Cara Berpikir Ilmiah
Bagaimanakah seseorang dapat dikatakan berpikir ilmiah? Apakah kita semua
bisa memiliki kemampuan itu? Untuk memahami cara berpikir ilmiah, kita akan
coba melukiskannya seperti contoh
berikut ini.
Ditemukan siswa yang masuk rangking 10 besar di suatu
kelas adalah orang-orang yang sama tiap semesternya. Timbul pertanyaan, "Mengapa
orang-orang yang masuk 10 besar berkisar antara mereka saja?” Ada penjelasan
seperti ini: mereka itu punya motivasi belajar lebih tinggi daripada siswa-siswa lainnya.
Penjelasan ini belum cukup ilmiah. Ada yang menyeletuk: “Memangnya motivasi
belajar itu makhluk apa?”
Motivasi belajar
merupakan energi jiwa yang menggerakkan mereka untuk mencapai tujuan-tujuan
beiajar. Jadi, mereka belajarnya lebih rajin, lebih aktif, lebih ulet. Makanya
hasilnya lebih besar itulah sebabnya mereka dapat rangking!
“Begitu ya?” Ya, penjelasan
ini sudah cukup ilmiah. Namun belum memuaskan.
Kalau begitu,
“Apakah semua siswa yang tinggi motivasi belajarnya bisa dapat rangking?"
Kita semua bisa masuk 10 besar, dong?. Ya, tentu bisa! Hah?! “Kita kan 36 orang sekelas....”
Begini. Motivasi
tinggi akan mengoptimalkan kerja intelegensi (IQ), dan melejitkan bakat-bakat dalam diri seseorang. Nah, jika 36 orang relatif sama tinggi
motivasi belajar mereka (meski ini jarang terjadi), maka yang dapat rangking adalah
yang ber-IQ lebih tinggi dan bakat-bakatnya lebih besar pada bidang-bidang mata
pelajaran. Wah!, "IQ dan bakat-bakat saya berapa ya?”
Mereka yang masuk
10 besar adalah yang punya motivasi belajar lebih tinggi sehingga IQ mereka
(yang juga lebih tinggi) bekerja optimal, serta bakat-bakat mereka (yang juga
lebih sesuai dengan bidang-bidang mata pelajaran) melejit. “Benarkah?”
Untuk
membuktikannya, kita lakukan dulu tes psikologi, supaya diketahui bagaimana IQ
dan bakat masing-masing. Setelah di-tes, umpamanya, ternyata ditemukan bahwa IQ
dan bakat siswa yang masuk 10 besar cenderung lebih tinggi daripada yang tidak
masuk. Sekarang kita punya bukti-bukti yang cukup teruji.
Masih belum puas?
Kalau belum, itu bagus. Kita akan mencari buku-buku yang membahas teori hubungan
dan seluk-beluk motivasi belajar, IQ dan bakat dengan hasil belajar siswa di sekolah. Teori-teori tersebut
dihimpun dan dikaji. Apabila ternyata pula banyak ahli berpendapat bahwa
hal-hal tersebut memang saling berhubungan, maka
pertanyaan-pertanyaan di atas terjawab dengan memuaskan.
Ya,
kan? Tunggu dulu! Itu baru suatu teori. Ada pendapat terbaru yang menyatakan
bahwa hasil belajar dipengaruhi oleh kebiasaan dan keterampilan belajar.
Terdapat alasan-alasan kuat bahwa para juara kelas punya kebiasaan dan
keterampilan belajar lebih baik daripada siswa lainnya. Bahkan, meskipun IQ dan
bakat mereka tidak lebih tinggi.
“Ah!, yang benar?" Tidak percaya?! Kita buktikan
lagi. Kalau bukti-buktinya mendukung, maka siswa yang IQ dan bakat-nya
biasa-biasa akan senang, kan!?.
Mereka akan termotivasi untuk menjadi juara; mereka juga punya peluang....
Begitulah berpikir ilmiah membangun kebenaran ilmiah. Terus menerus
mempertanyakan dan mengkritik. Teori dan konsep yang telah ada bisa semakin
kuat dengan adanya bukti-bukti pendukungnya. Tapi juga ada yang tak terpakai
lagi, karena bukti-bukti baru membantahnya. Jadi semua teori dan pendapat dalam
ilmu pengetahuan terbuka untuk dikritisi; dipertanyakan, dipersoalkan,
diperbaiki. Kebenarannya bersifat
relatif.
Proses-proses seperti itu
berlangsung dalam semua disiplin ilmu pengetahuan.
Metode Ilmiah
Metode ilmiah adalah penggabungan antara pikiran kritis-rasional kita
tentang alam dan kehidupan dengan
pengalaman nyata kita dalam alam dan kehidupan itu. Penggabungan ini akan
membentuk kesimpulan tentang kebenaran yang masuk akal; benar secara ilmu
pengetahuan.
Kita ambil contoh,
pembakaran dapat terjadi apabila tersedia cukup oksigen (rasional). Benarkah? Mari kita buktikan. Bakarlah dua buah lilin.
Untuk menutup masuknya oksigen di udara, tutuplah salah satu lilin dengan
gelas. Ternyata, api pada lilin yang tertutup gelas segera padam. Tutuplah
lilin kedua dengan gelas lebih besar. Apinya padam dalam satuan waktu lebih
lama daripada lilin pertama (pengalaman
nyata).
Meski sangat sederhana, cara berpikir dan langkah tersebut sudah merupakan
bagian dari metode ilmiah. Ya, metode ilmiah, yang menuntut kita menggunakan
secara serentak: Kemampuan otak
untuk berpikir; dan kemampuan
indriawi untuk mencermati gejala-gejala.
Metode ilmiah dengan pengerahan kemampuan manusia ini telah menjadi motor pembentuk maju dan berkembangnya ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Dalam pelaksanaan metode ilmiah, kemampuan berpikir dan mencermati
mengandung kecakapan lebih khusus, seperti Merumuskan Masalah;
Merumuskan Hipotesis; Merancang dan Melaksanakan Penelitian atau Pengujian.
Kecakapan ilmiah tersebut dapat kita latihkan pada kegiatan pembelajaran
dalam berbagai mata pelajaran yang
ada. Namun, terlebih dahulu kita perlu memahami bagaimana susunan ilmu
pengetahuan itu secara keseluruhan.
Bangunan Ilmu Pengetahuan
Untuk memberikan kerangka berpikir dalam menjalankan metode ilmiah, kita
perlu mengenal secara menyeluruh
bangunan ilmu pengetahuan yang terbentuk melalui metode ilmiah itu.
Bagunan ilmu pengetahuan tersebut kita lukiskan sebagai sebuah piramida,
seperti di bawah ini.
Gambar. Piramida Bangunan Ilmu Pengetahuan
Bagaimanakah memahami piramida ini?
Kita mulai melangkah di bagian bawah; fundasi piramida, yaitu alam dan kehidupan di mana piramida itu
berpijak. Alam merupakan obyek dari ilmu pengetahuan. Alam dibagi-bagi dan dipilah-pilah menjadi domain (wilayah, ranah) (Istilah
“domain” akhir-akhir ini lebih populer untuk mengidentifikasi server website di
internet).
Pada perkembangan mutakhir hari ini terdapat domain: Ilmu-ilmu
Alam; Ilmu-ilmu Sosial; Ilmu-ilmu
Kemanusiaan.
Suatu domain terdiri
dari sejumlah cabang ilmu pengetahuan yang sedang dan akan terus berkembang dan bertambah.
Di alam, partikel terkecilnya adalah atom; inti atom (dalam fisika partikel ditemukan
secara tidak langsung komponen inti atom disebut Kuark atau Quark sebagai
partikel lebih kecil). Ini dipelajari oleh Fisika. Kemudian, ada molekul yang terdiri dari beberapa atom.
Gabungan yang lebih tinggi dari atom dan molekul adalah senyawa. Zat senyawa
dipelajari dalam Kimia. Dari Kimia,
kita terus ke Biologi yang
mempelajari sel; organisme; makhluk hidup.
Fisika, Kimia, dan
Biologi punya cabang-cabang dan akan terus berkembang. Ilmu-ilmu Alam bahkan
mencapai domain lebih
luas; mempelajari permukaan bumi dan lapisan-lapisan di dalamnya, juga
antariksa dan berbagai macam benda di langit angkasa luas.
Dari domain
Ilmu-ilmu Alam, kita masuk ke domain
Ilmu-ilmu Sosial.
Di sini kita bertemu dengan Psikologi
yang mempelajari tingkahlaku beserta proses kejiwaan manusia. Cabang-cabangnya
seperti Psikologi Klinis, Psikologi Perkembangan, Psikologi Belajar, sampai
mempelajari perilaku manusia dalam interaksi sosial, yaitu Psikologi Sosial
yang berbatasan dengan Sosiologi.
Sosiologi mempelajari bagaimana interaksi dan perilaku kelompok-kelompok
masyarakat manusia. Sedangkan, tentang interaksi,
nilai, dan budaya masyarakat pada zaman dahulu dipelajari dalam Antropologi.
Karya kebudayaan masyarakat dahulu hingga kini, yaitu berupa pemikiran,
nilai-nilai, sastra,
tulisan, dan karya-karya lainnya dipelajari oleh Humaniora yang masuk ke dalam domain Ilmu-ilmu Kemanusiaan.
Pembelahan alam dan kehidupan menjadi domain-domain tersebut menghasilkan cabang-cabang dan
spesialisasi ilmu pengetahuan. Seorang ahli dalam suatu cabang ilmu dapat
memiliki spesialisasi tertentu. Misalnya ahli biologi (biolog) spesialisasi
tumbuh-tumbuhan, ahli
psikologi (psikolog) spesialisasi kelainan perilaku seksual.
Dalam domain ilmu
pengetahuan tersebut berkembang pula teknologi, yaitu penerapan dari ilmu-ilmu
dasar (Sains) yang kita
sebut di atas. Misalnya, teknologi pembuatan mesin teknologi obat-obatan,
teknologi makanan adalah hasil penerapan ilmu Fisika, Kimia dan Biologi. Bagaimana cara pemilihan
presiden, anggota DPR, atau bupati yang adil dan demokratis merupakan sumbangan penerapan
Ilmu-ilmu Sosial bagi kemaslahatan orang banyak.
Penerapan ilmu-ilmu tersebut bertujuan untuk memudahkan manusia dalam
kehidupan. Karena kemajuan ilmu pengetahuan, maka saat ini kita dapat menikmati
teknologi. Dengan makin kompleksnya kehidupan manusia menyebabkan perlunya
spesialisasi penguasaan ilmu terapan dan teknologi. Misalnya, dokter spesialis
kandungan, insinyur spesialis konstruksi jembatan, sarjana ilmu sosial
spesialis konflik sosial.
Spesialisasi ini nanti makin khusus lagi. Katakanlah, ada dokter spesialis kandungan khusus kemandulan.
Menemukan Fakta Ilmiah
Baiklah, kita teruskan menelusuri piramida di atas. Dari alam dan kehidupan tempat
piramida itu berpijak, kita naiki anak tangga-anak tangga piramidanya (kita
bayangkan saja di dalam piramida ada tangga menuju puncaknya). Anak tangga
tersebut merupakan proses ilmiah, yang memberitahu kita bagaimana ilmu
pengetahuan dibangun. Dengan menaiki anak tangga pertama sampai keempat kita
akan bertemu dengan fakta-fakta ilmiah.
Anak tangga pertama, pembatasan obyek dan masalah. Maksudnya, obyek dan masalah
yang akan diamati dalam kegiatan ilmiah harus dibatasi supaya dapat
dikendalikan dan tidak ngelantur ke
mana-mana. Misalnya, untuk keperluan penyelidikan sosiologis, dilakukan pengamatan terhadap
interaksi masyarakat. Maka obyeknya harus dibatasi pada satu desa, atau
perkotaan tertentu; pada kelompok masyarakat tertentu; pada aspek
masalah-masalah apa sajakah.
Dalam Geofisika, kita membatasi obyek pengamatan pada sebuah gunung, atau
lautan di kedalaman tertentu. Dalam Biologi, pembatasannya adalah pada makluk
hidup, apakah pada hewan, hewan mamalia; atau reptilia. Pada aspek mana, pola
hidupnya; atau susunan syarafnya.
Setelah obyek dan masalahnya dibatasi, jelas serta dapat dikendalikan,
maka disiapkan instrumentasinya. Instrumentasi
(anak tangga kedua piramida) adalah
peralatan yang digunakan untuk mengukur obyek yang diamati (seperti ukuran fisiknya, bentuk, jenis, sifat,
tingkah, polah, kurenahnya). Mengukur artinya membandingkan obyek
atau benda yang diukur, misalnya dengan benda lainnya yang sejenis. Tapi
sedapat mungkin pembandingnya adalah alat ukur standar dan akurat. Contohnya, pengukuran panjang
dengan satuan meter (bukan dengan depa), pengukuran waktu dengan satuan detik
(bukan bayangan badan karena sinar matahari),
pengukuran suhu dengan derajat Celcius alatnya termometer, mengukur kemampuan
berpikir dengan tes IQ, mengukur kecenderungan sikap sekelompok orang dengan
skala atau angket. Teleskop,
mikroskop, spektograf, hidrometer, barometer adalah contoh-contoh instrumen
yang dapat dipakai untuk pengukuran.
Kegiatan dengan menggunakan instrumen tersebut biasanya disebut pengamatan dan pengumpulan data (anak tangga
ketiga). Pengukuran dalam kegiatan instrumentasi tersebut menghasilkan data. Data tersebut terhimpun dalam suatu
pencatatan, atau tersimpan di laboratorium. Kemudian, data ini
digolong-golongkan menurut kesamaan ciri-cirinya
(klasifikasi). Misalnya penggolongan menurut warna, bentuk, ukuran, jenis kelamin, penghasilan,
pekerjaan, dsb.
Setelah data terhimpun dan terklasifikasi, mereka dapat dibaca, dianalisis, dan ditafsirkan. Hasilnya
disebut fakta ilmiah (anak tangga keempat). Data dan fakta
itu, antara lain, berbentuk tabel, grafik, diagram di atas kertas, atau berupa
molekul, logam, suatu zat, bakteri, virus, sel, batu, tumbuhan, binatang di
laboratorium.
Penjelajahan kita dari anak tangga
pertama sampai keempat
(pembatasan obyek atau masalah, instrumentasi, pengamatan atau pengumpulan data, sampai ditemukannya fakta-fakta ilmiah) merupakan jelajah
induksi. Induksi adalah cara
berpikir yang bertolak dari hal-hal, gejala, peristiwa, kasus, atau benda yang
khusus untuk mengambil kesimpulan umum. Perumpamaannya begini: besi, tembaga,
emas, perak jika dipanaskan memuai. Benda-benda tersebut termasuk unsur logam.
Kesimpulan umumnya, logam memuai jika dipanaskan. Itulah berpikir induktif.
Induksi yang melahirkan fakta-fakta ilmiah tersebut bersifat obyektif. Maksudnya, prosesnya sebagaimana adanya; terlepas dari pengaruh
subyektif pihak-pihak tertentu.
Menarik Turun Hipotesis
Apakah yang bisa diperbuat dengan fakta-fakta ilmiah itu? Kita andaikan
mereka dapat berbicara, terdengarlah suara-suara: “Aku adalah virus; aku batu
antik milik raja Majapahit; aku sejenis pemicu stres." Grafik berbisik,
“Banjir air bah disebabkan oleh pembabatan
hutan." Diagram berkata, “Siswa-siswa memiliki daya serap tinggi disebabkan
itu atau ini”.
Tapi nyatanya mereka diam seribu bahasa. Kita manusialah yang memberi nama
apa, dan menjelaskan bagaimana status, keterkaitan, hubungan,
atau pengaruh antara satu dengan lainnya. Pemberian nama dan penjelasan
mengenai fakta-fakta ilmiah tersebut dinamakan hipotesis (kita berada di tengah-tengah atau anak tangga kelima piramida).
Hipotesis adalah pernyataan
kita untuk menerangkan fakta-fakta tadi. Kita punya dugaan kuat bahwa
fakta-fakta itu seperti ini: “Si virus ini penyebab demam!” “Engkaulah batu
antik penghias cincin raja-raja Majapahit!” “Si picu itulah yang menimbulkan
stres pada orang-orang sibuk.” “Lahan
gundul mengakibatkan bencana banjir.” “Motivasi belajar disertai IQ tinggi dan bakat yang besar
membawa siswa-siswa masuk program
studi favorit”. Karena pernyataan-pernyataan tersebut timbulnya dari
alam pikiran, maka tidak sepenuhnya dapat dipercaya, ia harus dibuktikan.
Mengapa kita berani menduga bahwa fakta-fakta itu akan menyebabkan sesuatu, atau mengakibatkan sesuatu? Karena kita
meramalkannya,
begitu.... Ramalan!? Nujum, ya? “Ya,
jampi-jampi ilmiah,”
dibuat di perpustakaan bersama timbunan buku-buku; berdasarkan pengamatan, pengalaman, pengetahuan,
konsep. teori dan hukum-hukum yang telah ada sebelumnya.
Ramalan seperti itu disebut prediksi
ilmiah (anak tangga keenam).
Penjelasan yang dibuat tidak bisa seenak-enaknya. Kalau awan mendung, kita
meramalkan hujan akan turun. Ramalan bahwa bulan “ber” hujan (maksudnya: September, Oktober, November, Desember),
karena pengalaman pada tahun-tahun sebelumnnya. Harga barang-barang akan
merambat naik mengiringi kenaikan harga bahan bakar merupakan ramalan yang kerap terbukti.
Untuk meramal, kita juga perlu melihat khasanah ilmu pengetahuan yang
telah disusun orang-orang terdahulu, yaitu Teori
dan Konsep (anak tangga ketujuh), Hukum-hukum (anak tangga
kedelapan). Adanya hipotesis “virus ini penyebab demam,“ berdasarkan pada konsep Biologi yang
menjelaskan bahwa serangan patogen (bakteri, virus, jamur) terhadap organisme
menimbulkan penyakit. Sehingga kita dapat meramalkan bahwa infeksi virus
tertentu menyebabkan organisme (manusia) demam. Hipotesis “lilin padam jika ditutup gelas,” karena
dalam Fisika terdapat konsep bahwa pembakaran membutuhkan oksigen. Kita
meramalkan lilin yang ditutup gelas akan padam karena berkurangnya oksigen di
udara.
Hukum-hukum ilmu pengetahuan sifatnya umum dan cakupannya luas daripada
teori. Karenanya tidak perlu digunakan untuk membuat ramalan jika tidak
benar-benar dibutuhkan. Hukum gravitasi merupakan satu contoh hukum Fisika. Ada
hukum “permintaan dan penawaran pasar” dalam ilmu Ekonomi.
Jika kita ingin naik ke puncak piramida, maka kita akan bertemu
simbol-simbol, salah satu contohnya ini: G = fm1, m2/r2. Ini adalah hukum alam tentang
gravitasi yang telah dirumuskan secara Matematika.
Bila kita terus menapak ke puncak paling tinggi dari piramida itu, kita bertemu
dengan hasil perenungan para filosof.
Perjalanan kita dari anak tangga
keenam, ketujuh, dan mungkin mencapai puncak
piramida menghasilkan ramalan dan menarik turun hipotesis untuk menerangkan
fakta-fakta ilmiah.
Cara berpikir dalam perjalanan itu disebut deduksi.
Ini adalah penalaran manusia yang “berlawanan" dengan induksi. Dalam
deduksi, kita menarik kesimpulan dari konsep dan teori (yang sifatnya umum)
untuk menjelaskan suatu gelaja, benda, kasus (hal-hal yang khusus). Kita ambil
perumpamaan di atas tadi: Logam memuai jika dipanaskan. Emas adalah logam, maka
emas memuai kalau dipanaskan. Itulah berpikir deduksi. Deduksi harus rasional. Artinya, masuk
akal, sejalan dengan kaidah-kaidah logika.
Arena Pembuktian
Pertemuan antara deduksi dengan induksi terjadi persis di tengah-tengah
bangunan piramida. Di situ hipotesis mendapat ujian dari fakta-fakta ilmiah.
Ibarat pertarungan, hipotesis
turun ke arena untuk membuktikan keperkasaannya. Seandainya hipotesis menang (dibenarkan oleh fakta), maka ia
diterima. Sebaliknya sebuah hipotesis akan
terjungkal jika fakta-fakta ilmiah tidak mendukungnya. Ia ditolak.