
Ikut bersuka cita ditandai dengan hantaran makanan ke rumah pengantin.
Fungsi layanan konseling di sekolah menunjuk pada manfaat dan kegunaan konseling terhadap perkembangan dan kehidupan siswa sebagai individu yang sedang menjalani proses pendidikan, terutama pembentukan karakter.
Pengertian Karakter
Tim Penyusun UNP Padang (2011:19) merumuskan
pengertian karakter sebagai “Sifat pribadi yang relatif stabil pada diri
individu yang menjadi landasan bagi penampilan perilaku dalam standar nilai dan
norma yang tinggi”. Pengertian ini menjelaskan bahwa karakter merupakan sifat
pribadi yang kemudian muncul dalam perilaku yang sesuai dengan nilai dan norma.
Perilaku yang ditampilkan seseorang yang dapat disebut sebagai karakter, oleh
karena itu, yang didasarkan atas sifat-sifat yang sudah relatif stabil.
Thomas Lickona (1991, terj. Juma Abdu Wamaungo,
2012:81) mendefinisikan karakter secara operasional sebagai nilai dalam
tindakan, “Kita berproses dalam karakter kita, seiring suatu nilai menjadi
suatu kebaikan, suatu disposisi batin yang dapat diandalkan untuk menanggapi
situasi dengan cara yang menurut moral itu baik.” Pengertian ini memperlihatkan
bahwa karakter mengandung komponen nilai dan moral kebaikan, sikap dan perilaku
menghadapi situasi, yang semua berproses dalam diri seseorang. Lickona
mempertegas bahwa pembentukan karakter memerlukan proses.
Berdasarkan definisi yang dikemukakan di atas
tampak bahwa karakter merupakan suatu nilai dan moral yang sudah tertanam di
dalam diri seseorang, yang setiap kali akan muncul dalam sikap dan perilaku
ketika berhadapan dengan berbagai situasi dalam kehidupannya. Nilai dan moral
tersebut ditanamkan dalam jangka waktu tertentu dan melalui proses dan tahapan
tertentu.
Pendidikan Karakter
Karakter tumbuh dan berkembang dalam suatu
rangkaian dan proses tertentu dalam diri seseorang. Karakter tidak muncul
begitu saja, melainkan setelah individu bersangkutan mengalami pendidikan
tertentu. Stephen R. Covey (1997) penulis sangat
populer tentang keefektifan kebiasaan manusia mengutip Charles Reade
(1814-1884) yang menyatakan bahwa pikiran manusia menghasilkan tindakan, lalu
tindakan akan menghasilkan kebiasaan, kemudian kebiasaan menghasilkan karakter,
hingga akhirnya menjadi takdir. Mudah dipahami, bahwa karakter tidak lain
daripada hasil dari pikiran, perbuatan dan kebiasaan yang dikembangkan
seseorang sepanjang hidupnya. Karakter, baik yang positif maupun negatif tidak
tercipta begitu saja, melainkan tumbuh, berkembang dan dibangun sedemikian rupa
dalam interaksi seseorang dengan lingkungannya.
Pendidikan karakter, dengan demikian, merupakan
upaya yang seharusnya dilakukan secara terus-menerus dalam berbagai lingkungan
pendidikan. Dimulai sejak dari dalam kandungan dan terus dikembangkan sepanjang
kehidupan seseorang.
Penguatan Pendidikan Karakter
Dalam Perpres 87/2017 dinyatakan bahwa PPK
dilaksanakan dengan memperkuat harmonisasi olah hati, olah rasa, olah pikir dan
olah raga (Bab 1 Pasal 1). Penguatan
Pendidikan Karakter (PPK) menurut Kemendikbud RI (2017) adalah “Menempatkan
nilai karakter sebagai dimensi terdalam pendidikan yang membudayakan dan
memberadabkan para pelaku pendidikan.” Pengertian ini menempatkan PPK sebagai
subtansi pendidikan, di mana pelaku pendidikan, baik siswa maupun guru secara
bersama-sama membangun karakter.
Grand Design Pendidikan Karakter Kementerian Pendidikan
Nasional RI (2010) mengelompokkan karakter kepada empat kategori yang
masing-masing mengembangkan sejumlah karakter, yaitu sebagai berikut:
1)
Olah
Pikir (pengembangan karakter cerdas dan kreatif);
2)
Olah
Hati (pengembangan karakter jujur dan bertanggungjawab);
3)
Olah
Rasa dan Karsa (pengembangan karakter peduli);
4)
Olah
Raga atau Kinestetik (pengembangan karakter bersih dan sehat).
Pendidikan
karakter tersebut telah dicanangkan pada Aksi Nasional Pendidikan Karakter pada
2010.
Pada
Perpres 87/2017 disebutkan bahwa Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) dalam
mewujudkan bangsa yang berbudaya itu diperlukan penguatan nilai-nilai religius,
jujur, toleran, disiplin, bekerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa
ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi,
komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan
bertanggung jawab.
Disain
strategi mikro PPK oleh Tim Pendidikan Karakter Kementerian Pendidikan Nasional
RI (2010) menempatkan kegiatan pembelajaran
di kelas sebagai lingkungan terkecil PPK melalui integrasi pendidikan karakter
ke dalam mata pelajaran. Dalam lingkup sekolah PPK dilaksanakan dalam budaya
sekolah melalui pembiasaan kehidupan keseharian, kemudian melalui integrasi PPK pada kegiatan-kegiatan
ekstrakurikuler. Dalam lingkup yang lebih luas PPK dilaksanakan dalam
pembiasaan sehari-hari di lingkungan rumah.
Strategi
PPK melingkupi hampir keseluruhan lingkungan kehidupan siswa dan guru maupun
warga sekolah lainnya. Secara demikian, aktivitas sehari-hari di sekolah maupun
di rumah akan diwarnai muatan PPK. Kondisi ini diharapkan pada gilirannya menjadikan PPK dimensi terdalam yang berdampak
kepada keseluruhan aktivitas dan keseharian siswa. Namun demikian, pembelajaran
yang berorientasi klasikal di kelas maupuan aktivitas ekstrakurikuler dalam
format kelompok kurang mampu membantu kasus-kasus penguatan karakter yang
bersifat individual. Padahal orientasi pengubahan perilaku secara individual
sangat diperlukan justru dalam menangani masalah-masalah karakter yang lebih berat.
Fungsi
dan Strategi Layanan Konseling Perorangan
Fungsi
Layanan Konseling
Fungsi layanan konseling di sekolah menunjuk pada manfaat dan
kegunaan konseling terhadap perkembangan dan kehidupan siswa sebagai individu
yang sedang menjalani proses pendidikan. Prayitno dan Erman Amti (2004:197)
mengelompokkan fungsi-fungsi konseling menjadi empat fungsi pokok, yang dalam
kaitannya dengan penyelenggaraan konseling di sekolah adalah: (1) fungsi
pemahaman, yaitu pemahaman terhadap diri, permasalahan dan lingkungan siswa
oleh siswa itu sendiri, orang tuanya, konselor sekolah, serta pihak-pihak yang
akan membantu siswa, (2) fungsi pencegahan, berkenaan dengan tercegahnya siswa
dari berbagai permasalahan yang mungkin timbul, (3) fungsi pengentasan, yakni
terentaskan dan terbebaskannya siswa dari masalah yang dialaminya, (4) fungsi
pemeliharaan dan pengembangan, berarti terpelihara dan terkembangkannya
kondisi-kondisi dan potensi positif pada diri siswa secara berkelanjutan.
Menilik kedalaman maupun keluasan fungsi-fungsi konseling itu,
jelas bahwa keterselenggaraannya memerlukan berbagai layanan dan
kegiatan. Keseluruhan konsepsi dan penyelenggaraan konseling di sekolah dapat
dipandang sebagai sebuah pola yang dinamis. Dalam
sejumlah literatur konseling yang ditulis oleh Prayitno, pengembangan
konsep dan pelaksanaan konseling yang dituangkan ke dalam suatu pola dikenal
dengan “BK Pola 17 Plus”. Pola ini meliputi bidang pengembangan pribadi,
sosial, belajar, dan karir. Bidang-bidang pengembangan tersebut digarap dengan
layanan orientasi, informasi, penempatan dan penyaluran, penguasaan konten, konseling
perorangan, bimbingan kelompok, konseling kelompok, konsultasi, mediasi, dan
advokasi. Pelaksanaan layanan konseling diperkuat dengan kegiatan pendukung
aplikasi instrumentasi, himpunan data, konferensi kasus, tampilan kepustakaan, kunjungan rumah, alihtangan kasus.
Pelaksanaan pola yang meliputi bidang, jenis layanan, dan kegiatan
pendukung konseling itu dilakukan dalam lingkungan sekolah sebagai setting dalam
format individual, kelompok, klasikal, lapangan, dan komunikasi khusus. Sebelum
melaksanakan fungsi-fungsi tertentu terhadap siswa-siswa melalui pola konseling
tersebut sehubungan dengan perkembangan dan permasalahan mereka, konselor
sekolah atau guru BK perlu memahami sekolah sebagai sebuah lingkungan
pendidikan formal; filosofi, prosedur administratif dan manajerialnya,
struktur, kultur, sasaran-sasaran utama pendidikan karakter, dan
kemudian menempatkan program-program konseling secara tepat dan berdaya guna di
dalamnya.
Untuk mengoperasikan fungsi-fungsi konseling itu konselor sekolah
perlu menampilkan layanan dan kegiatan pendukung dalam berbagai formatnya.
Suatu jenis layanan dan kegiatan pendukung dapat ditujukan untuk
merealisasikan satu atau lebih fungsi
tertentu. Pelaksanaan fungsi-fungsi
tertentu bisa memerlukan lebih banyak jenis layanan dan kegiatan pendukung
serta keterlibatan pihak-pihak lainnya, seperti orang tua, guru mata pelajaran, tenaga ahli dan
narasumber yang dapat membantu siswa.
Fungsi Pengentasan dan Penguasaan Konten Perilaku Positif
Pelaksanaan empat fungsi pokok konseling itu tidaklah terpisah
secara tajam, melainkan simultan, bersangkut-paut, dan saling melengkapi. Meski
begitu, pelaksanaan fungsi tertentu bisa lebih
menonjol dan memerlukan kerja lebih keras dalam berbagai layanan dan
kegiatan pendukung konseling. Pelaksanaan fungsi pengentasan adalah yang paling
menantang karena berurusan dengan penanganan masalah-masalah siswa dan upaya
pengubahan perilaku serta berkarakter dengan cara membelajarkan siswa untuk
menguasai perilaku baru tertentu secara kongkrit dan terukur.
Sejumlah layanan dan kegiatan pendukung konseling dapat diterapkan
untuk melaksanakan fungsi pengentasan masalah siswa. Syamsu Yusuf dan A. Juntika Nurihsan (2005:28) menyatakan
bahwa untuk siswa yang memiliki masalah yang memerlukan bantuan segera (layanan
responsif) dapat digunakan layanan konseling perorangan, konseling kelompok,
dan konsultasi. Dalam konseling “Pola 17 Plus” fungsi pengentasan masalah siswa
dapat diselenggarakan dengan beberapa layanan dan kegiatan pendukung. Meskipun
begitu, layanan konseling perorangan merupakan upaya layanan yang paling utama
dalam pelaksanaan fungsi pengentasan, karena dengan layanan ini masalah siswa akan teratasi secara efektif, yang
dengan demikian, layanan-layanan lainnya dan kegiatan pendukung tinggal
mengikuti dan mendampingi (Prayitno dan Erman Amti, 2004:288-289).
Dapat ditegaskan bahwa pelaksanaan pengentasan masalah siswa
dilakukan dengan layanan konseling perorangan sebagai layanan utama, didampingi
layanan lain yang bertujuan mengentaskan masalah siswa, seperti layanan
konseling kelompok dan layanan konsultasi. Layanan-layanan tersebut menjadi
lebih efektif dengan mendayagunakan kegiatan-kegiatan pendukung, karena pengentasan
masalah siswa memerlukan informasi tentang latar belakangnya. Menurut Munro, Manthei, Small
(1979:40-41) salah satu pertimbangan awal untuk memulai hubungan konseling
adalah ketersediaan informasi tentang siswa, seperti informasi tentang
identitas siswa, sifat dan perkembangan masalah, keluarga, ciri kejiwaan,
riwayat pendidikan, hasil belajar, perkembangan emosi dan sosial. Informasi
tersebut dapat diperoleh melalui kegitan pendukung aplikasi instrumentasi,
himpunan data, konferensi kasus, dan kunjungan rumah.
Fungsi pengentasan dalam konseling adalah ibarat membebaskan
seseorang dari keadaan yang tidak disukainya.
Prayitno dan Erman Amti (2004:209-210) menyatakan bahwa fungsi
pengentasan sejajar dengan fungsi penyembuhan pelayanan dokter, namun dengan
membangkitkan, mengembangkan dan menggabungkan berbagai kekuatan yang pada
dasarnya ada pada diri setiap orang untuk dipakai menanggulangi masalah yang
dialaminya. Munro, Manthei, Small (1979:11) menyatakan bahwa salah satu dasar
etika konseling adalah “pengambilan keputusan oleh klien sendiri.” Dalam
perkataan lain, keyakinan dan sikap bahwa tiap individu mampu berperan dan
bertanggung jawab terhadap perkembangan diri dan potensinya menjadi fundasi dan
mewarnai seluruh upaya pengentasan masalah siswa.
Uraian di atas menunjukkan bahwa pengentasan masalah siswa
merupakan upaya yang cukup kompleks. Dengan menempatkan konseling perorangan
sebagai “simpul penanganan,” upaya
tersebut menjangkau layanan-layanan
lainnya serta memerlukan kegiatan-kegiatan pendukung agar pengentasan yang
diberikan benar-benar efektif dan mencapai sasarannya. Bersamaan dengan itu,
keberhasilan pengentasan masalah siswa justeru terletak pada keteguhan
keyakinan dan sikap konselor sekolah bahwa siswa mampu mengambil peran dan tanggung
jawab penyelesaian masalahnya, dan dalam perspektif perubahan perilaku adalah mampu
menguasai dan melakukan perilaku yang lebih
baik dalam kehidupan dan keberhasilannya dalam pendidikan.
Perspektif
Konseling dalam Penguatan Pendidikan Karakter
Prayitno (2017:45) menegaskan bahwa
konseling yang berhasil adalah terkuasai dan terlaksanakannya perilaku positif
terstruktur oleh peserta didik. Perilaku
positif terstruktur adalah perolehan peserta didik setelah mendapatkan layanan
BK, yaitu berupa tingkahlaku baru yang bermakna dan berguna. Prayitno (2017:33)
mengungkapkan bahwa perilaku positif terstruktur terfokus pada kemandirian dan
kemampuan pengendalian diri siswa yang berlandaskan pada nilai-nilai karakter.
Dalam perkataan lain, apapun perilaku baru yang dikuasai siswa setelah
mendapatkan layanan BK seharusnya terkandung Penguatan Pendidikan Karakter (PPK)
yang dapat dipergunakannya untuk lebih mandiri dan mampu mengendalikan dirinya.
Dari berbagai jenis layanan BK yang dapat
dilaksanakan dengan format kalsikal, kelompok maupun perorangan, layanan
konseling perorangan merupakan simpul layanan strategis di mana seorang konselor
atau guru BK berinteraksi langsung dengan satu orang peserta didik (klien).
Prayitno (2017:108) menyatakan bahwa konseling perorangan merupakan jantung
hatinya layanan BK karena seringkali merupakan layanan paling bermakna dalam
membantu menyelesaikan masalah siswa, dengan menggunakan secara sinergik
berbagai pendekatan, metode dan teknik konseling.
(Bagian II:
Strategi Konseling Perorangan dan Perilaku Berkarakter)
DAFTAR PUSTAKA
Munro,
E.A., Manthei, R.J., Small, J.J. 1979. Penyuluhan (Counselling) Suatu Pendekatan
Berdasarkan Keterampilan (terj. Erman Amti, 1985). Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Prayitno dan Erman Amti. 2004. Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Rineka Cipta.
Prayitno. 2004a. Layanan
Konseling Perorangan. Padang: Jurusan BK FIP UNP
Prayitno.
2017. Konseling Profesional yang Berhasil.
Jakarta: Rajawali Pers.
Sciarra, Daniel T. 2004. School Counseling Foundation and Contemparary Issues. Belmont:
Brooks/Cole.
Stephen R. Covey (Alihbahasa: Drs. Budijanto). 1997.
7 Kebiasaan Manusia yang Sangat Efektif.
Jakarta: Binarupa Aksara
Syamsu Yusuf dan a Juntika Nurihsan. 2005. Landasan Bimbingan & Konseling.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Thomas
Lickona. 1991. (Terj. Juma Abdu Wamaungo, 2012). Educating for Character. Mendidik untuk Membentuk Karakter. Jakarta:
Bumi Aksara.
Universitas
Negeri Padang. 2011. Pengembangan
Penghayatan dan Pengamalan Nilai-nilai Karakter-Cerdas. Padang: UNP
Perpres
Nomor 82 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter.
Kemendinas
RI (2010). Power Point Grand Design Pendidikan Karakter.