Pemahaman Terhadap Peserta didik
Otak manusia terdiri dari
tiga jenis, yaitu: [1] Otak reptil (batang otak), mengontrol fungsi pernafasan,
detak jantung, insting mempertahankan hidup, kelangsungan hidup, dan kesiagaan
menghadapi bahaya. [2] Otak mamalia (sistem limbik), berfungsi untuk
pengendalian emosi, pengalaman, memori, kemampuan belajar, mengendalikan pola
tidur, makan, tekanan darah, detak jantung , gairah seksual dsb. [3] Otak
berpikir (neokorteks), berfungsi untuk berpikir intelektual, penalaran,
mengatur pesan-pesan yang diterima melalui mata, telinga dan tubuh.
Di dalam otak manusia terdapat 15 juta sel
neuron. Satu neuron mempunyai beberapa denrit. Ketika kita sedang belajar atau
mengolah informasi, interaksi antara neuron “mengaktifkan” hubungan
denrit-denrit. Dengan begitu, sebenarnya manusia dapat mengaktifkan
ratusan juta denrit di sepanjang cabang-cabang batang otak untuk mengolah,
memikirkan dan menyimpan jutaan soal dan informasi; dan ini merupakan potensi
yang hampir tak terbatas untuk belajar.
Dari segi tanggungjawab terhadap cara
berpikir, otak terbagi menjadi “otak kiri,” dan “otak kanan.” Otak belahan kiri
bertanggungjawab atas bepikir: - logis, - teratur, - runtut, - rasional. Cara
ini sesuai untuk tugas-tugas membaca, menulis, memahami dan mengungkapkan
kata-kata, belajar dengan mendengarkan, menempatkan detail dan fakta,
pengucapan, ekspresi gagasan.
Sedangkan otak kanan bertanggungjawab dalam
berpikir: - menemukan pola, - acak, – intuitif, - analogi, - gagasan abstrak
lainnya. Cara tersebut cocok untuk urusan yang berkenaan dengan kode dan
isyarat, perasaan serta emosional, kesadaran ruang, pengenalan bentuk dan pola,
musik, seni, warna, gambar-gambar, serta kreatifitas.
Keseimbangan penggunaan kedua belahan otak
tersebut penting untuk kenyamanan, kesehatan fisik dan mental serta
kesempurnaan berpikir manusia itu sendiri.
Otak mengakses informasi dengan mata, telinga, dan tubuh. Melalui
penglihatan mata, otak menangkap informasi
dengan membentuk kesan visual. Informasi auditorial masuk ke otak lewat
pendengaran telinga. Melalui gerakan
tubuh, otak kita juga dapat menyerap informasi. Dalam perkataan lain, saraf
kita memiliki tiga jalan utama dalam memproses rangsangan dari luar, yaitu
visual, auditorial, dan kinestetik.
Gardner dalam
Frames of Mind, 1985, membagi kecerdasan manusia sbb:
1.
Kecerdasan Bahasa. Kemampuan membaca, menulis, dan komunikasi
dengan kata-kata atau bahasa. Berkembang dalam MP bahasa. (penulis, wartawan,
presenter, orator, pelawak, dsb).
2.
Kecerdasan Logis-Matematis. Kemampuan berpikir, menalar, berhitung,
logis, sistematis. Berkembang dalam MP matematika. (insinyur, ilmuwan, ekonom,
akuntan, detektif dll).
3.
Kecerdasan Ruang (Visual-Spasial). Kemampuan berpikir menggunakan gambar,
visualisasi, membayangkan. Berkembang bila materi pelajaran dengan media
gambar, pandang ruang tiga dimensi. (arsitek, pemahat, pelaut, fotografer,
desainer dll).
4.
Kecerdasan Musikal.
Kemampuan menggubah musik, bernyanyi, apresiasi musik. Irama musik
sebagai perantara bahan belajar atau sebagai pengiring belajar dapat merangsang
perkembangannya. (penyair, musisi, penyanyi dll).
5.
Kecerdasan Gerak-Jasmani (Kinestetik). Kemampuan menggunakan tubuh secara trampil
untuk memecahkan masalah, menciptakan produk, mengemukakan gagasan dan emosi.
Berkembang dengan pembelajaran yang menuntut gerakan-gerakan fisik. (olahraga,
menari, akting).
6.
Kecerdasan Sosial (Antarpribadi). Kemampuan bekerja secara efektif dengan
orang lain, memperlihatkan empati dan pengertian. Kecerdasan ini berkembang
dalam pembelajaran dengan metode yang memerlukan komunikasi dan interaksi
dengan orang lain. (guru, fasilitator, politisi dll).
7.
Kecerdasan Intrapribadi. Kemampuan menganalisis diri, merenungkan
diri, menilai dan meninjau perilaklu dan perasaan terdalam seseorang, membuat
rencana dan visi. (filosof, dll)
8.
Kecerdasan Naturalis. Kemampuan mengenal flora dan fauna, memilah secara
runtut dunia kealaman untuk berburu, bertani, penelitian biologi. Berkembang
dalam metode belajar yang meneliti alam. (petani, botanis, konservasi
lingkungan dsb).
9.
Kecerdasan Spiritual. Kemampuan untuk
mendalami hal-hal yang berhubungan dengan kesadaran tentang agama, tuhan (?).
Penciptaan manusia menjadi makin sempurna manakala kita menyadari bahwa
sesungguhnya sejak kelahirannya manusia dibekali pula dengan “kemamuan
menjalani hidup.” Kemauan anak menjalani
hidup mengandung arti bahwa “tidak bisa” bukan berarti “gagal.” Ini adalah
motivasi dasar yang ada pada setiap diri anak.
Anak belajar bahwa “tidak bisa” adalah “kegagalan”
justru ketika ia belajar di sekolah dan berinteraksi di tengah-tengah
masyarakat. Dalam usia tujuh tahun, si anak duduk di kelas satu atau dua
sekolah dasar dan belajar membaca. Suatu kali,
ketika si anak duduk di kelas menyimak pelajaran, guru berkata, “Siapa
yang dapat menjawab pertanyaan ini?” Sang anak mengacungkan tangan dengan
bersemangat, hingga guru memanggil namanya. Dengan penuh keyakinan si anak
menjawabnya. Tapi, apa yang terjadi, beberapa temannya tertawa, dan guru
berkata, “Itu salah! Kok begitu saja kamu tidak tahu!”
Pemahaman Terhadap Belajar
Belajar merupakan kegiatan untuk “berubah”
dan “menjadi”. Dalam pendidikan sekolah, peserta didik adalah fokus perubahan
agar tumbuh dan berkembang menuju kematangan, kemandirian, dan kedewasaan.
Dalam proses perubahan itu, peserta didik menjadi sentral dari pembelajaran.
Setiap peserta didik seharusnya memperoleh sebesar-besarnya manfaat proses
belajar di sekolah sehingga potensi diri mereka berkembang seoptimal mungkin.
Seberapa besar peserta didik mengalami
perubahan banyak tergantung pada kepiwaian guru dalam membelajarkan peserta
didik. Bersamaan dengan itu, efektifitas bantuan guru terhadap proses belajar peserta
didik menentukan perkembangan potensi diri mereka.
Perlakuan guru terhadap peserta didik perlu dilandasi pengertian bahwa
belajar adalah tempat di mana peserta didik sedang mencapai “Aku tahu.” Jadi tempat itu dipenuhi kesalahan,
ketidak-tahuan dan keingintahuan, juga kreativitas dan dinamika.
Pada umumnya, pengembangan metode-metode
pembelajaran didasarkan atas pemahaman bahwa “manusia diciptakan dengan dalam
bentuk sebaik-baiknya,” antara lain: - kapasitas otak yang hampir tanpa batas,
- adanya tiga bagian otak, - dua belahan otak, - tujuh jenis kecerdasan, -
jaringan kerja saraf untuk mengakses informasi secara visual, auditorial,
kinestetik, serta - kemauan menjalani
hidup pada setiap anak manusia yang terlahir ke dunia.
Kekeliruan
Pengajaran
Apa yang selama ini disebut poses belajar
mengajar di ruang-ruang kelas sekolah kita umumnya berupa kegiatan guru
menyampaikan materi pelajaran, peserta didik menerima pelajaran; guru
berceramah, menyampaikan informasi dan pernyataan-pernyataan, peserta didik
mendengar dan mencatat dengan patuh; guru mencerek, peserta didik mencawan; guru
menabung, peserta didik menjadi celengannya. Keadaan ini telah secara terus
menerus menjadi penyebab rendahnya motivasi belajar, kemalasan, dan ketakutan
pada tantangan belajar di dalam diri para peserta didik. Pendidikan sekolah
dengan suasana belajar semacam ini menghasilkan peserta didik-peserta didik
yang lemah penalaran, malas berpikir, sangat tergantung pada orang lain, tidak
berani berpendapat.
Tanpa disadari, sekolah dan guru-guru telah
menyumbang secara sistematis bagi pembekuan potensi peserta didik. Kegiatan
pengajaran di kelas kurang mengaktifkan kemampuan berpikir dan memecahkan
masalah, mengabaikan bakat-bakat, membunuh kreatifitas, menghambat minat,
kemauan, dan kemandirian peserta didik-peserta didik. Fakta kegagalan
pendidikan sekolah tersebut tampak ketika bahagian banyak dari lulusan
sekolah tidak cukup cerdas menyikapi
realitas hidup, kurang kompetitif, kurang cakap membangun kemandirian.
Keadaan menyedihkan itu telah lama disadari,
dan dewasa ini langkah-langkah nyata untuk menciptakan proses belajar yang
benar-benar memperkembangkan potensi individual peserta didik telah mulai
dilakukan. Bahkan guru-guru yang tercerahkan telah menggeser paradigma tentang mengajar menjadi kegiatan pembelajaran peserta didik. Dalam cara
ini, guru dan peserta didik sama-sama terlibat dalam suatu proses belajar; guru
dan peserta didik merupakan mitra
belajar. Materi pelajaran, oleh karena itu, lebih sebagai “alat” (bukan tujuan)
untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan peserta didik serta mendorongnya untuk
belajar dari lingkungan yang lebih luas (learning
how to learn). Metode dan suasana yang dikembangkan di kelas menekankan
peran aktif peserta didik. Guru bersifat memfasilitasi dan menstimulasi peserta
didik agar berpikir, memecahkan masalah, berpendapat, kreatif, imajinatif, dan
membangun kemandirian.
Ke Arah Pembelajaran Terbaik
Peristiwa di bawah ini merupakan ilustrasi
untuk menggambarkan pembelajaran yang berlaku sebaliknya daripada keadaan
sekolah sebagai tempat yang menakutkan.
|
Guru si Budi bertanya kepada anak-anak
sekelas, “Berapa satu tambah satu?” Merasa yakin tahu jawabannya, Budi tunjuk
tangan tinggi-tinggi. Gurunya akhirnya menyebut namanya, dan dengan penuh
percaya diri Budi tersenyum dan menjawab “Satu tambah satu sama dengan tiga!” Sambil tersenyum guru Budi berkata, “Budi,
kamu sudah maju sekali! Tiga adalah jawaban yang tepat untuk satu tambah dua,
tapi kita belum sampai ke sana. Wah, cepat sekali kamu maju. Jadi, jika satu
tambah dua adalah tiga, kita mundur sedikit ke satu tambah satu. Apa
jawabannya menurut kamu?” |
Selain menghargai si Budi, guru juga
memberitahu bahwa jawabannya tidak tepat. Guru mengakui usaha belajar Budi, dan
tiap peserta didik di kelas itu.
Perlakuan guru semacam itu dilandasi pengertian bahwa belajar adalah tempat di
mana peserta didik sedang mencapai “Aku tahu.”
Jadi tempat itu dipenuhi kesalahan, ketidak-tahuan dan keingin-tahuan,
juga kreativitas dan dinamika.
Pemahaman yang komprehensif terhadap potensi
setiap peserta didik telah membuka pandangan para ahli pendidikan tetang metode
belajar dan mengajar yang dapat melejitkan potensi peserta didik. Sejumlah
falsafah, metode, teknik dan kiat-kiat telah dikembangkan di berbagai belahan
dunia. Misalnya, Accelerative Learning,
Pendidikan Holistik, Metaphoric Learning,
Belajar berdasarkan pengalaman, dan Quantum
Learning.
Falsafah dan metode Quantum Learning lebih dikenal luas karena penemunya, Bobbi
DePorter dkk, telah menuliskan proses dan keberhasilan penerapan metode
tersebut dalam bidang pendidikan dan bisnis. Di Indonesia, sejumlah sekolah
telah mengambil sebagian metode tersebut untuk menunjang proses pembelajaran.
Buku-buku Quantum Learning dibahas
dan didiskusikan untuk kemungkinan penerapannya pada kondisi-kondisi yang
terbatas.
Metode-metode Quantum Learning antara lain didasarkan atas pemahaman bahwa: -
Manusia diciptakan dengan dalam bentuk sebaik-baiknya, antara lain: kapasitas
otak yang hampir tanpa batas, - adanya tiga bagian otak, dan dua belahan otak, -
gaya belajar, -kemauan menjalani hidup yang besar pada setiap anak manusia yang
terlahir ke dunia, -hubungan sosial antara peserta didik.
Maka,
pertanyaannya adalah: Bagaimana belajar yang sesuai dengan cara
kerja otak sehingga fungsi otak optimal,
keseimbangan otak kiri dan otak kanan? Bagaimanakah mengembangkan metode dan
komunikasi pembelajaran yang sesuai dengan gaya belajar peserta didik? Bagaimanakah
menimbulkan motivasi kuat untuk belajar seperti ketika seorang anak belajar
berjalan? Bagaimanakah mengembangkan hubungan sosial antara peserta didik dalam
rangka mengoptimalkan pembelajaran?
Seperti dikemukakan Bobbi De Porter dan Mike
Hernacki dalam Quantum Learning, metode ini mencakup pembahasan yang luas
untuk: [1] memperoleh motivasi belajar tinggi, [2] meningkatkan nilai hasil belajar,
[3] percaya diri dan kehormatan diri, serta [3] sikap positif pada diri peserta
didik.
Cara yang ditempuh untuk mencapai hal-hal
tersebut adalah:
-
Mengembangkan
sikap positif pada diri peserta didik maupun guru;
-
Menumbuhkan
motivasi;
-
Menciptakan lingkungan
yang sempurna;
-
Mengembangkan
keterampilan belajar.
Penerapan
cara-cara tersebut dalam belajar peserta didik menimbulkan suasana belajar yang
menggairahkan, menantang, namun nyaman dan menyenangkan.
