Pada gilirannya nanti pendidikan di negeri kita mampu mengembangkan sehebat-hebatnya potensi peserta didik sehingga melahirkan generasi penerus yang cerdas dan berguna. Guru profesional yang sejahtera itu tangguh berada di garda depan pengembangan mutu anak bangsa. Negeri ini akan segera berkibar di tengah kompetisi global.
Secara normatif TPG
diharapkan memberi daya dorong pada diri guru memacu kinerja mendidiknya.
Dengan penghasilan layak memenuhi kebutuhan hidup keluarga serta dapat
menyisakan untuk tabungan, guru atau siapapun, dapat bekerja lebih fokus dan
penuh semangat. Maslahat TPG dengan sendirinya menyediakan waktu leluasa bagi
guru-guru membuat perencanaan mendidik secara matang; rencana pembelajaran
dengan tinjauan referensi yang luas, pentahapan ilmiah dan inovatif, serta
skenario pembelajaran berdasarkan basis data tentang karakteristik peserta
didik
TPG untuk guru-guru
profesional itu berdampak pada terciptanya kelas dengan suasana belajar yang
dinamis dan proses pembelajaran yang benar-benar membelajarkan. Guru-guru itu
menampilkan diri secara utuh dan penuh di ruang kelas dengan kekayaan materi
pengajaran, keampuhan strategi dan pendekatan, variasi metode, dan daya tarik
medianya. Guru-guru itu menjadi orang-orang yang menyenangkan bagi peserta
didik; orang yang empatik, penuh pengertian dan pemahaman serta senyum selalu.
Bukan hanya di depan kelas, guru-guru profesional berpenghasilan cukup tinggi
itu akan memeriksa setiap tugas yang dikerjakan peserta didik dengan koreksi
teliti, penilaian rinci dan menyeluruh, serta skor obyektif. Dengan begitu,
peserta didik mengetahui letak kesalahan, kelemahan serta kekurangannya, dan
kemudian dengan senang hati pula melakukan perbaikan-perbaikan.
Tugas
Guru Membelajarkan
Sudah mendekati satu
dekade, dari tahun ke tahun, guru-guru yang diakui profesional terus bertambah,
namun sebagiannya dinyatakan tidak memenuhi syarat menerimakan uang TPG. Itu
karena tidak memenuhi satu persyaratan pokok, yaitu beban mengajar 24 jam tatap
muka perminggu. Pada sekolah menengah dengan guru berbeda pada tiap mata
pelajaran, berarti sang guru harus mengajar pada sekitar 6 sampai 12 kelas (2-4
jam per kelas). Bila jumlah peserta didik rata-rata 30 orang per kelas, maka
guru mengajar sekitar 180 hingga 360 orang.
Jika Anda berceramah dari
satu kelas ke kelas lain hingga jumlah audien seluruhnya mencapai seribu orang,
itu baik, tak ada masalah. Sayang, guru bukan penceramah. Tugas guru adalah
membelajarkan! Dalam membelajarkan, guru berkewajiban mengenal, mengerti dan
memahami individu pembelajarnya. Ia menyebutkan nama tiap anak dengan mantap,
mengenal kemampuan skolastik, gaya belajar, minat serta keterbatasan mereka.
Guru kelas di sekolah dasar dan pendidikan usia dini punya kesempatan sangat
terbuka melaksanakan pembelajaran dalam pengertian sesungguhnya itu, karena
biasanya mengajar satu kelas tiap semesternya. Sementara guru-guru mata
pelajaran di sekolah menengah dituntut mampu membelajarkan 360 orang peserta
didik tiap semester, itu merupakan tugas luar biasa.
Toh, sekolah-sekolah kita
tetap berjalan lancar. Sebagian guru yang tidak dapat memenuhi jam mengajar 24
jam tatap muka pada sekolah induknya boleh menambahkan jam mengajar ke sekolah
lain, satu, dua hingga tiga sekolah. Yang penting ketentuan 24 jam tatap muka
terpenuhi. Maka jadilah guru antarkelas dan sebagian guru antarsekolah.
Guru-guru pemburu 24 jam mengajar itu sangat mobile. Dan adalah
manusiawi guru-guru sangat berharap mendapatkan tunjangan keprofesian mereka.
Mereka telah bekerja dan mestilah mendapatkan penghasilan sesuai beban yang
ditentukan.
Rangkaian tugas-tugas guru
yang luar biasa, baik dari segi jumlah peserta didik yang dilayani apalagi dari
segi tugas untuk membelajarkan mereka, sungguh merupakan beban kerja manusia
superior. Beban tugas tersebut menuntut penggunaan kemampuan keintelektualan,
pengembangan hubungan sosio-emosional, keterampilan dan penguasaan teknologi,
hingga keteladanan dalam sikap dan nilai-nilai kehidupan yang. Semua kemampuan
guru tersebut diikat dengan satu komitmen, yaitu “kepentingan peserta didik.”
Boleh dikatakan bahwa kerja guru sama sekali tidak dapat disetarakan dengan
pekerjaan produksi ataupun jasa, yang perhitungan penghasilannya dapat ditakar
menurut produktifitas kuantitatif.
Tergerusnya
Altruisme
Kepentingan peserta didik
menjadi ruh bakti guru. Motif yang menggerakkkan guru adalah motif altruistik,
yaitu segala sesuatu dilakukan demi kepentingan kemajuan, perkembangan dan
kebahagiaan peserta didik. Motif ini seringkali menonjol pada guru dan profesi
lainnya yang dengan sukarela bertugas di daerah-daerah terdepan, terluar
dan tertinggal. Mereka menghadapi tantangan kondisi alam yang berat
dan manusia yang hidup dalam serba keterbatasan dan keterbelakangan, serta
sekaligus penghasilan yang seringkali tidak jelas. Inilah guru-guru berideologi
altruisme.
Guru-guru penerima TPG
dalam kenyataannya dihadapkan pada dilema harus bertahan dengan altruisme atau
memilih pragmatisme. Di situ kadang guru-guru merasa sedih. Apalagi
syarat-syarat administratif untuk pencairan dana TPG tersebut acapkali
berbelit-belit dan berkelit-kelit. Anda boleh bertanya kepada para guru, berapa
banyak syarat administratif TPG telah menyita waktu dan tenaga mereka yang
semestinya digunakan untuk mendidik dan mengajar di kelas. Pragmatisme jualan
jasa mengajar belakangan ini menggejala dalam dunia pendidikan kita. Memenuhi
24 jam tatap muka di depan kelas perminggu adalah sandi pencairan TPG. Jangan
bicara upaya menciptakan suasana belajar dan proses pembelajaran seperti yang
diamanatkan undang-undang. Sudahlah, itu topik yang cocok untuk seminar. Guru-guru
tak punya waktu berpikir mengembangkan materi dan metodologi pengajaran,
membaca buku-buku terbaru dan melakukan riset tindakannya. Seperti yang
sudah-sudah sajalah
Walhasil, motif altruistik
sebagian guru mulai tergerus oleh ketentuan dan syarat berlaku untuk pencairan
TPG. Menjadi guru mulai bergeser menjadi kerja di sekolah, seperti halnya kerja
di kantor, kerja di pabrik. Karena merupakan jasa kerja maka ukuran kinerjanya
terutama adalah waktu yang telah dipakai dalam proses produksi jasanya, kemudian
hasil fisiknya. Tahukah Anda, tidak sulit bagi guru untuk menyusun beratus
halaman “bukti fisik”, meski yang benar-benar dikerjakan hanyalah dua helai
halaman pertama saja.
Dalam tekanan menaikkan
status sosial ekonomi dengan mengejar TPG sebagian guru terpaksa mencampakkan
ideologi altruisme mereka. Keberlangsungan pendidikan yang penuh suasana
belajar dan proses pembelajaran sesungguhnya sedang tergerogoti, mengalami
pengrusakan secara pelahan tapi pasti.*