Tunjangan Profesi Guru: Menggerus Idealisme Pendidik


Tunjangan Profesi Guru (TPG) dimaksudkan untuk memuliakan profesi guru di negeri ini. Para guru yang telah mendapatkan sertifikat guru profesional memperoleh tunjangan penghasilan sebesar satu kali gaji pokok setiap bulan. Dalam pada itu pula, tertumpang harapan besar kepada guru untuk membenahi, meningkatkan dan melesatkan berbagai kegiatan pembelajaran di sekolah mencapai pendidikan bermutu tinggi. 

Pada gilirannya nanti pendidikan di negeri kita mampu mengembangkan sehebat-hebatnya potensi peserta didik sehingga melahirkan generasi penerus yang cerdas dan berguna. Guru profesional yang sejahtera itu tangguh berada di garda depan pengembangan mutu anak bangsa. Negeri ini akan segera berkibar di tengah kompetisi global.

Secara normatif TPG diharapkan memberi daya dorong pada diri guru memacu kinerja mendidiknya. Dengan penghasilan layak memenuhi kebutuhan hidup keluarga serta dapat menyisakan untuk tabungan, guru atau siapapun, dapat bekerja lebih fokus dan penuh semangat. Maslahat TPG dengan sendirinya menyediakan waktu leluasa bagi guru-guru membuat perencanaan mendidik secara matang; rencana pembelajaran dengan tinjauan referensi yang luas, pentahapan ilmiah dan inovatif, serta skenario pembelajaran berdasarkan basis data tentang karakteristik peserta didik

TPG untuk guru-guru profesional itu berdampak pada terciptanya kelas dengan suasana belajar yang dinamis dan proses pembelajaran yang benar-benar membelajarkan. Guru-guru itu menampilkan diri secara utuh dan penuh di ruang kelas dengan kekayaan materi pengajaran, keampuhan strategi dan pendekatan, variasi metode, dan daya tarik medianya. Guru-guru itu menjadi orang-orang yang menyenangkan bagi peserta didik; orang yang empatik, penuh pengertian dan pemahaman serta senyum selalu. Bukan hanya di depan kelas, guru-guru profesional berpenghasilan cukup tinggi itu akan memeriksa setiap tugas yang dikerjakan peserta didik dengan koreksi teliti, penilaian rinci dan menyeluruh, serta skor obyektif. Dengan begitu, peserta didik mengetahui letak kesalahan, kelemahan serta kekurangannya, dan kemudian dengan senang hati pula melakukan perbaikan-perbaikan.

Tugas Guru Membelajarkan

Sudah mendekati satu dekade, dari tahun ke tahun, guru-guru yang diakui profesional terus bertambah, namun sebagiannya dinyatakan tidak memenuhi syarat menerimakan uang TPG. Itu karena tidak memenuhi satu persyaratan pokok, yaitu beban mengajar 24 jam tatap muka perminggu. Pada sekolah menengah dengan guru berbeda pada tiap mata pelajaran, berarti sang guru harus mengajar pada sekitar 6 sampai 12 kelas (2-4 jam per kelas). Bila jumlah peserta didik rata-rata 30 orang per kelas, maka guru mengajar sekitar 180 hingga 360 orang.

Jika Anda berceramah dari satu kelas ke kelas lain hingga jumlah audien seluruhnya mencapai seribu orang, itu baik, tak ada masalah. Sayang, guru bukan penceramah. Tugas guru adalah membelajarkan! Dalam membelajarkan, guru berkewajiban mengenal, mengerti dan memahami individu pembelajarnya. Ia menyebutkan nama tiap anak dengan mantap, mengenal kemampuan skolastik, gaya belajar, minat serta keterbatasan mereka. Guru kelas di sekolah dasar dan pendidikan usia dini punya kesempatan sangat terbuka melaksanakan pembelajaran dalam pengertian sesungguhnya itu, karena biasanya mengajar satu kelas tiap semesternya. Sementara guru-guru mata pelajaran di sekolah menengah dituntut mampu membelajarkan 360 orang peserta didik tiap semester, itu merupakan tugas luar biasa.

Toh, sekolah-sekolah kita tetap berjalan lancar. Sebagian guru yang tidak dapat memenuhi jam mengajar 24 jam tatap muka pada sekolah induknya boleh menambahkan jam mengajar ke sekolah lain, satu, dua hingga tiga sekolah. Yang penting ketentuan 24 jam tatap muka terpenuhi. Maka jadilah guru antarkelas dan sebagian guru antarsekolah. Guru-guru pemburu 24 jam mengajar itu sangat mobile. Dan adalah manusiawi guru-guru sangat berharap mendapatkan tunjangan keprofesian mereka. Mereka telah bekerja dan mestilah mendapatkan penghasilan sesuai beban yang ditentukan.  

Rangkaian tugas-tugas guru yang luar biasa, baik dari segi jumlah peserta didik yang dilayani apalagi dari segi tugas untuk membelajarkan mereka, sungguh merupakan beban kerja manusia superior. Beban tugas tersebut menuntut penggunaan kemampuan keintelektualan, pengembangan hubungan sosio-emosional, keterampilan dan penguasaan teknologi, hingga keteladanan dalam sikap dan nilai-nilai kehidupan yang. Semua kemampuan guru tersebut diikat dengan satu komitmen, yaitu “kepentingan peserta didik.” Boleh dikatakan bahwa kerja guru sama sekali tidak dapat disetarakan dengan pekerjaan produksi ataupun jasa, yang perhitungan penghasilannya dapat ditakar menurut produktifitas kuantitatif.

Tergerusnya Altruisme

Kepentingan peserta didik menjadi ruh bakti guru. Motif yang menggerakkkan guru adalah motif altruistik, yaitu segala sesuatu dilakukan demi kepentingan kemajuan, perkembangan dan kebahagiaan peserta didik. Motif ini seringkali menonjol pada guru dan profesi lainnya yang dengan sukarela bertugas di daerah-daerah terdepan, terluar dan  tertinggal. Mereka menghadapi tantangan kondisi alam yang berat dan manusia yang hidup dalam serba keterbatasan dan keterbelakangan, serta sekaligus penghasilan yang seringkali tidak jelas. Inilah guru-guru berideologi altruisme.

Guru-guru penerima TPG dalam kenyataannya dihadapkan pada dilema harus bertahan dengan altruisme atau memilih pragmatisme. Di situ kadang guru-guru merasa sedih. Apalagi syarat-syarat administratif untuk pencairan dana TPG tersebut acapkali berbelit-belit dan berkelit-kelit. Anda boleh bertanya kepada para guru, berapa banyak syarat administratif TPG telah menyita waktu dan tenaga mereka yang semestinya digunakan untuk mendidik dan mengajar di kelas. Pragmatisme jualan jasa mengajar belakangan ini menggejala dalam dunia pendidikan kita. Memenuhi 24 jam tatap muka di depan kelas perminggu adalah sandi pencairan TPG. Jangan bicara upaya menciptakan suasana belajar dan proses pembelajaran seperti yang diamanatkan undang-undang. Sudahlah, itu topik yang cocok untuk seminar. Guru-guru tak punya waktu berpikir mengembangkan materi dan metodologi pengajaran, membaca buku-buku terbaru dan melakukan riset tindakannya. Seperti yang sudah-sudah sajalah

Walhasil, motif altruistik sebagian guru mulai tergerus oleh ketentuan dan syarat berlaku untuk pencairan TPG. Menjadi guru mulai bergeser menjadi kerja di sekolah, seperti halnya kerja di kantor, kerja di pabrik. Karena merupakan jasa kerja maka ukuran kinerjanya terutama adalah waktu yang telah dipakai dalam proses produksi jasanya, kemudian hasil fisiknya. Tahukah Anda, tidak sulit bagi guru untuk menyusun beratus halaman “bukti fisik”, meski yang benar-benar dikerjakan hanyalah dua helai halaman pertama saja.

Dalam tekanan menaikkan status sosial ekonomi dengan mengejar TPG sebagian guru terpaksa mencampakkan ideologi altruisme mereka. Keberlangsungan pendidikan yang penuh suasana belajar dan proses pembelajaran sesungguhnya sedang tergerogoti, mengalami pengrusakan secara pelahan tapi pasti.*

 

wkonselor

Senantiasa berdaya upaya menjadi makin efektif menjalani kehidupan sehari-hari dan ingin membantu orang lain agar menjadi lebih efektif pula.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama